Senin, 22/08/2016
NewsBreaking21-Penetapan tarif interkoneksi terbaru oleh pemerintah pada 2 Agustus lalu yang membuat biaya interkoneksi untuk 18 skenario panggilan telepon tetap dan selular turun secara agregat sekitar 26%, telah menimbulkan beragam opini. Intinya, yang satu beranggapan penurunan tarif interkoneksi menguntungkan konsumen dan operator, yang lain justru merugikan konsumen dan operator, terutama operator petahana yang rajin membangun jaringan.
Menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud interkoneksi dan mengapa harus diatur pemerintah? Benarkah regulasi interkoneksi merugikan operator petahana? Terlepas benar atau salah, bagaimana seharusnya pemerintah, regulator dan stakeholder terkait lainnya menyikapi regulasi tersebut.
Secara teknis operasional, interkoneksi adalah keterhubungan jaringan antara satu operator dengan operator lain yang memungkinkan masyarakat saling berkomunikasi kapan dan dimanapun saja. Dengan kata lain, interkoneksi merupakan keharusan bagi setiap operator yang memiliki jaringan untuk menyambungkan jaringannya dengan jaringan operator lain yang meminta interkoneksi.
Diatur Pemerintah
Logika dibalik keharusan itu adalah karena interkoneksi merupakan faktor yang paling menentukan dalam menjamin kualitas layanan dan kompetisi yang adil dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasalnya, perkembangan teknologi dan liberalisasi pasar telekomunikasi sejak beberapa dekade lalu telah memicu lahirnya jasa-jasa telekomunikasi baru secara signifikan. Fenomena tersebut menuntut adanya jaminan interkoneksi yang reliable antar-operator, baik secara nasional, regional maupun internasional.
Kedua, interkoneksi masih menjadi isu krusial bagi konsumen telekomunikasi dan para pebisnis di seluruh dunia. Sebab, ketiadaan interkoneksi antar operator yang memadai dapat dipastikan penyelenggaraan jasa-jasa telekomunikasi --voice, mobile, data, jasa-jasa satelit, dan konektivitas Internet berkecepatan tinggi hingga berbagai layanan multimedia Internet-- menjadi terhambat dan tidak efisien.
Selain itu, fenomena di berbagai negara menunjukkan bahwa operator dominan (incumbent) seringkali menghambat perkembangan kompetisi. Perilaku anti kompetisi yang dipraktekkan incumbent dapat berupa penetapan tarif interkoneksi yang sangat tinggi, penolakan membangun atau menyediakan kapasitas interkoneksi, maupun layanan pendukung yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan interkoneksi.
Menyadari kondisi tersebut, para pembuat kebijakan dan ahli telekomunikasi di berbagai belahan dunia berpendapat bahwa regulator berkewajiban membuat regulasi yang dapat menjamin efektifitas penyelenggaraan interkoneksi di berbagai belahan negara. Sebagaimana terjadi di Eropa dan negara-negara di Asia Pasifik yang menempatkan masalah interkoneksi sebagai suatu prioritas utama yang harus diatur (InfoDev; 2000).
Di Indonesia, interkoneksi antar operator juga diwajibkan oleh regulator (Kementerian Komunikasi dan Informatika), sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Pasal 20-24 PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaran Telekomunikasi. Ketentuan itu pada intinya menyatakan setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.
Dampak Regulasi Interkoneksi
Bila dicermati, anggapan yang menilai substansi Surat Edaran Menteri Kominfo (SE Menkominfo) Nomor 1153/M.Kominfo/PI.02004.08/2016 tidak transparan, tidak taat aturan dan tidak adil --dinilai melanggar ketentuan Pasal 23 ayat 3 PP Nomor 52 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Permen Kominfo Nomor 08/Per/M.Kominfo/2/2016 tentang Interkoneksi-- tampaknya tidak tepat. Karena faktanya para operator sudah diajak berunding terlebih dahulu untuk membahas besaran biaya interkoneksi sebelum ditetapkan.
Jika pada akhirnya diputuskan menggunakan besaran biaya interkoneksi versi tersendiri, pola perhitungan simetris dan bukan asimetris, tidak berarti regulator (Kemenkominfo) melabrak aturan dan bersikap tidak adil. Apa yang dilakukan regulator justru bersifat adil dan mengakomodasi aturan yang berlaku, serta menghindarkan terjadinya deadlock.
Sebab pola yang dipilih sudah melalui proses regulatory impact assestment yang tidak hanya mempertimbangkan kepentingan operator petahana, tapi semua operator yang diselaraskan dengan tujuan nasional yakni peningkatan kompetisi dan percepatan penggelaran pita lebar (broadband), misalnya.
Rasionalisasi di balik pilihan formula perhitungan biaya interkoneksi tersebut, karena pemerintah (regulator) merupakan penyelengara kepentingan publik yang lebih memahami kepentingan publik ketimbang operator yang nota bene berorientasi mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Lagipula, diakui atau tidak, besaran biaya interkoneksi saat ini tergolong cukup besar (terutama di bagian timur Indonesia) yang berdampak memicu timbulnya praktek persaingan usaha tidak sehat.
Secara ekonomi, tingginya biaya interkoneksi (khususnya di industri seluler) disinyalir akibat acuan perhitungan tarif interkoneksi hingga 2015 masih menggunakan kalkulasi versi Telkomsel. Padahal berdasarkan perhitungan terakhir, ada operator yang bertarif interkoneksi cukup rendah, bahkan lebih rendah dari tarik interkoneksi anak usaha PT Telkom itu.
Idealnya, tarif interkoneksi pungutannya harus berdasarkan kondisi setempat, tidak bisa disamaratakan dan hanya bersandar pada kalkulasi sepihak dari operator petahana. Dalam arti, biaya interkoneksi antar operator harus diseimbangkan sesuai beban yang ditanggung tiap operator (biaya interkoneksi terefisien) agar semua operator beruntung dan tidak ada yang tersingkir dari pasar.
Jika sinyalemen tarif interkoneksi berbasis kalkulasi sepihak Telkomsel itu benar, tudingan beberapa pihak yang menilai regulator melanggar aturan dan merugikan Telkomsel --baik secara langsung maupun tidak langsung dengan kerugian ditaksir berkisar puluhan triliun rupiah-- menjadi tidak valid.
Karena itu, sinyalemen itu harus diselidiki kebenarannya dan jika terbukti benar, berarti perhitungan biaya interkoneksi berpola simetris boleh dikata sudah benar dan penerapannya harus didukung oleh semua pihak.
Namun bila hasil penyidikan menunjukkan lain, setidaknya susbtansi aturan besaran biaya interkoneksi belum pas. Dalam arti, kalkulasi biaya interkoneksi terbaru sebaiknya direvisi bila keseluruhan biaya operasional dan pembangunan jaringan --termasuk biaya kompensasi rajinnya penggelaran jaringan oleh operator petahana (Telkomsel) dan kelambanan operator lain membangun jaringan sesuai yang disyaratkan pada tiap moderen licensing mereka, termasuk unsur resiko dan kualitas layanan-- belum terakomodasi dalam SE Menkominfo Nomor 1153/M.Kominfo/PI.02004.08/2016.
Upaya revisi dimaksud prosesnya tergolong sederhana karena cukup dilakukan dengan menyesuaikan substansinya, terutama ketentuan yang belum mengakomodasi keseluruhan biaya operasional dan pembangunan jaringan (sebagaimana disebut di atas) dengan besaran yang dihitung secara proporsional dan sesuai beban tanggungan setiap operator. Hasil revisi itu bisa tetap berbentuk SE Menkominfo atau dimasukan dalam Permen Kominfo Nomor 08/Per/M.Kominfo/2/2016 tentang Interkoneksi.
Upaya revisi akan lebih efektif, jika substansi PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Penggunaan Spektrum Frekuensi Radiorevisi, sehingga memungkinkan terselenggaranya model bisnis berbagi jaringan (network sahring) dan mobile virtual network operator (MVNO). Pasalnya, model bisnis itu bisa meningkatkan kompetisi dan mempercepat penggelaran jaringan pita lebar (broadband), dan membuat biaya interkoneksi berkurang akibat menurunnya beban biaya elemen jaringan setiap operator.
Karena itu, semua pemangku kepentingan (khususnya regulator dan para operator) harus mendukung dan terlibat aktif dalam mendukung proses revisi beleid tersebut. Caranya dengan menyampaikan data dan informasi perihal besaran biaya riil yang dikeluarkan dalam berinterkoneksi, beserta capaian pembangunan jaringan dan kualitas layanan setiap operator.
Selanjutnya, regulator menghitung dan menimbang kebenaran data dan informasi itu secara cermat, transparan, adil dan sesuai aturan yang berlaku, sebelum besaran biaya interkoneksi antar operator ditetapkan.
Kemampuan regulator dan operator bekerjasama dalam menetapkan besaran biaya interkoneksi yang bisa menguntungkan semua pihak (win-win solution), setidaknya akan berimplikasi ganda. Selain memacu penggelaran dan perluasan jaringan (khususnya pita lebar) di berbagai wilayah Indonesia, juga menguntungkan konsumen dan operator.
Sebab, kebijakan itu akan menurunkan tarif retail dalam bertelekomunikasi dan memacu kompetisi, cakupan dan kualitas layanan, serta meningkatkan utilisasi jaringan dan layanan para operator.
0 komentar:
Posting Komentar